KEPRI – Tanjak, penutup kepala khas Melayu, menjadi salah satu identitas budaya yang lekat dengan masyarakat Kepulauan Riau. Lebih dari sekadar hiasan, tanjak menyimpan sejarah panjang, makna filosofis, sekaligus simbol kehormatan bagi kaum lelaki Melayu.
Sejarawan menyebut, tanjak mulai digunakan sejak era kerajaan-kerajaan Melayu, terutama Kesultanan Riau-Lingga pada abad ke-18. Kala itu, tanjak dikenakan para bangsawan, pendekar, hingga ulama sebagai lambang wibawa dan kedudukan. Bahkan bentuk lipatan dan motif kain tanjak bisa menunjukkan status sosial pemakainya.
Secara tradisi, tanjak dibuat dari kain songket atau tenun Melayu yang dilipat dan dibentuk menyerupai mahkota. Proses melipat tanjak bukan sekadar teknis, tetapi mengandung makna filosofis. Setiap lipatan mencerminkan nilai-nilai kehidupan, seperti keberanian, kebijaksanaan, dan kehormatan.
“Dalam budaya Melayu, tanjak adalah lambang marwah. Lelaki yang memakai tanjak berarti menjaga martabat dirinya, keluarganya, dan adat istiadatnya,” ujar salah seorang budayawan Melayu di Tanjungpinang.
Hingga kini, tanjak masih lestari di Kepulauan Riau. Tidak hanya digunakan dalam upacara adat dan pernikahan, tanjak juga menjadi bagian dari pakaian resmi pada kegiatan pemerintahan maupun festival budaya. Pemerintah daerah bahkan mendorong penggunaan tanjak sebagai simbol kebanggaan daerah.
Seiring perkembangan zaman, tanjak tampil lebih modern dan bervariasi. Meski demikian, nilai sejarah dan filosofinya tetap dijaga agar generasi muda tidak melupakan jati diri Melayu.
Dengan warisan budaya ini, Kepulauan Riau terus memperkenalkan tanjak sebagai identitas daerah, sekaligus bagian dari khazanah budaya Indonesia yang patut dilestarikan.***
Tags:kepulauan riau, sejarah, Tanjak